Pendataan dan Integrasi Data Anak Berkewarganegaraan Ganda

“Bila pendataan Anak Berkewarganegaraan Ganda (ABG) dapat ditata secara bersama dan terintegrasi antarinstansi yang terkait maka beberapa persoalan dapat dituntaskan. Dengan adanya pendataan ABG yang sistematis dan terintegrasi maka peluang kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi ABG dapat diminimalisasi”.

Kebijakan Satu Data Indonesia

Tiga tahun yang lalu bertepatan dengan bulan lahirnya Pancasila, ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Perpres ini menjadi dasar hukum tertinggi bagi instansi Pemerintah dalam melaksanakan pengintegrasian data yang akan bermuara pada Satu Data Indonesia.

Kementerian/Lembaga (K/L) perlu bersinergi dan berkolaborasi secara bertahap dan berkesinambungan karena untuk sampai pada Satu Data Indonesia membutuhkan proses yang panjang dan lama.

Perpres tersebut mendapat respons yang positif dari Pimpinan K/L, Kepala Daerah Tingkat I dan II. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya ketentuan turunan dari Perpres dimaksud oleh Menteri, Pimpinan Lembaga. Gubernur, Bupati dalam kurun waktu antara 2019-2021.

Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana caranya menyatukan berbagai data yang tersebar pada sejumlah K/L dan pada provinsi, kabupaten menjadi Satu Data Indonesia ?

Sebagai upaya bersolusi walaupun disadari mengejawantahkan Satu Data Indonesia bukanlah hal yang mudah.

Sedikit mengelaborasi yang dilatarbelakangi oleh sejumlah permasalahan yang mencuat.

Pertama dan utama terkait data adalah data harus memenuhi unsur valid, reliabel dan objektif. Artinya secara ilmiah data harus memenuhi ketiga aspek tersebut, yang tentu saja pengukuran-nya menggunakan kaidah statistik.

Hal ini merupakan pekerjaan rumah bersama karena data yang selama ini tersedia pada K/L belum semuanya tervalidasi, reliabel dan objektif.

Oleh karena itu para pemangku jabatan terkait data, sudah harus mulai berorientasi pada validitas, reliabilitas dan objektivitas data. Sebab bila data valid, reliabel dan objektif maka akan lebih mudah untuk mengintegrasikan dengan data yang dimiliki oleh instansi lain sepanjang sistemnya juga mendukung, pastinya.

Kedua, mengenai aturan tentang data. Faktanya pemerintah menggunakan sekitar 2.700 pusat data dan hanya 3 persen yang berbasis cloud.

Tiap instansi pastinya memiliki aturan tertentu mengenai data dan pada umumnya aturan tersebut terkunci. Dapat dipahami bila aturan mengenai data secara substansi akan dikunci. Artinya data yang dimiliki oleh suatu instansi akan tidak mudah untuk diakses oleh siapa pun karena berkaitan dengan security atau tingkat keamanan data.

Nah, dalam pengintegrasian data hal ini akan menjadi kendala. Oleh karena itu perlu dilakukan diskresi kebijakan oleh pimpinan yang lebih tinggi di instansi tersebut. Misalnya, jika integrasi data dilakukan oleh unit eselon II maka diskresi kebijakan dapat dieksekusi oleh pimpinan unit eselon I, demikian selanjutnya.

Saat ini turunan reglemen Satu Data Indonesia telah ditetapkan pada semua Instansi Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Artinya pada berbagai K/L dan tingkat pemerintahan daerah telah tersedia aturan untuk menopang Perpres dimaksud.

Hal yang mungkin perlu lebih ditingkatkan adalah sosialisasi mengenai pentingnya akselerasi pengintegrsian data secara faktual dalam satu K/L atau antar K/L yang terkait.

Ketiga, belum adanya ketentuan mengenai standarisasi data yang berlaku secara nasional. Artinya ketentuan mengenai standarisasi data baru ditetapkan pada tingkat K/L tertentu dan berlaku pada K/L tersebut. Bahkan hanya sebagian kecil K/L yang memiliki standarisasi data.
Standarisasi data penting untuk dirumuskan bila akan menuju pada Satu Data Indonesia kelak. Sebab bila terdapat satu prosedur standarisasi data secara nasional maka data akan mudah dibaca pada level mana pun.

Hal yang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dilakukan sinkronisasi data antar-instansi terkait adalah hal kesisteman.

Pada umumnya kesisteman terkait data pada satu instansi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi bila akan diintegrasikan dengan kesisteman data pada instansi lainnya karena sistem yang dibangun dan dikembangkan oleh suatu instansi pada umumnya tidak dipersiapkan untuk diintegrasikan dengan sistem di luar instansi tersebut, kecuali sistem yang dibangun adalah dimulai dari adanya kesepakatan antarinstansi terkait. Belum lagi tiap instansi memiliki standar yang berbeda-beda terkait kesisteman.

Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan akselerasi data terkait kesisteman, bila ditunjang oleh diskresi pimpinan tertinggi instansi tersebut, yang didukung pula oleh para ahli yang berkompeten dalam merumuskan akselerasi tersebut secara teknis.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah menetapkan target capaian dalam pengintegrasian data. Sebab dengan adanya target capaian, mau tidak mau para pemangku 'Tusi' (tugas dan fungsi) yang terlibat di dalamnya akan terpacu untuk menuntaskan agenda integrasi data, di samping sebagai pengingat tentunya bila ada agenda kerja lain yang harus didahulukan secara skala prioritas.

Pendataan Anak Berkewarganegaraan Ganda (ABG)

Hal lain bila dikaitkan dengan permasalahan terkait Anak Berkewarganegaraan Ganda secara garis besar dapat dibagi tiga kategori, yakni perbedaan ketentuan hukum status kewarganegaraan dengan negara lain, kesadaran dan pemahaman warga Indonesia, ketersediaan data/dokumen, dan verifikasi status kewarganegaraan.

Persoalan ini bila diurai lebih jauh maka banyak anak cabang yang perlu dirampungkan. Kementerian/Lembaga yang berwewenang berkemungkinan kecil untuk menyelesaikan semua problematika secara tuntas. Untuk itu dibutuhkan skala prioritas dalam meminimalisasi persoalan yang mengemuka

Bila ditelisik terdapat dua kementerian yang berkepentingan, yaitu Kementerian Hukum dan HAM (Direktorat Jenderal Imigrasi/Ditjenim dan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum/Ditjen AHU) dan Kementerian Dalam Negeri (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil/Disdukcapil).

Salah satu persoalan yang patut didahulukan penataannya adalah pendataan ABG.

Mengapa demikian? Bila pendataan ABG dapat ditata secara bersama dan terintegrasi antarinstansi yang terkait maka beberapa persoalan dapat dituntaskan. Dengan adanya pendataan ABG yang sistematis dan terintegrasi maka peluang kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi ABG dapat diminimalisasi.

Pertama, peluang bagi ABG yang akan menjadi warga negara asing namun tak dikehendaki oleh yang bersangkutan dapat dihindari. Kedua, dapat mengetahui permasalahan ABG yang dilahirkan dan bermukim di mancanegara agar pemangku kepentingan dapat memberi solusi terbaik.

Dengan adanya integrasi data maka pendataan ABG pada suatu instansi secara otomatis akan terekam data ABG tersebut pada instansi lainnya sehingga data statistik jumlah ABG dapat diketahui secara pasti dan periodik.

Pasalnya, saat ini belum terdapat data statistik jumlah ABG yang tercatat pada Kementerian/Lembaga terkait. Dengan adanya integrasi data maka angka kuantitas ABG dapat diperoleh. Manfaat lainnya yaitu dengan adanya angka ABG yang tercatat dan secara berkesinambungan akan dapat menjadi acuan bagi pemangku kepentingan untuk mengambil kebijakan.

Sekitar tahun 2019 telah ada pembahasan awal terkait integrasi data antara Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Imigrasi dan Ditjen AHU) dengan Kementerian Dalam Negeri (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil/Disdukcapil). Hingga saat ini pembahasan tersebut masih berlanjut dan belum mencapai titik final.

Pendataan ABG merupakan sesuatu yang mendasar namun terkadang luput dari perhatian para pelaku kawin campur (orang tua dari ABG).

Bagi Ditjenim, pendataan ABG merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh affidavit, surat keimigrasian yang dilekatkan atau disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda dan memberikan fasilitas keimigrasian kepada pemegangnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun pendataan ABG pada Ditjenim belum menjadi agenda utama bagi orang tua/wali dari ABG.

Salah satu faktor yaitu terdapat ABG yang tidak memiliki dokumen keimigrasian karena sejak lahir telah bertempat tinggal di Bumi Nusantara dan tidak pernah melakukan perjalanan ke mancanegara.

Hal yang senada yaitu pencatatan ABG pada Disdukcapil. Tentu saja tujuan pencatatan ABG pada Disdukcapil berbeda dengan pendataan ABG pada Ditjenim. Yaitu untuk penerbitan Kartu Indentitas Anak (KIA) selain itu juga bertujuan penataan administrasi kependudukan. Namun keduanya memiliki esensi yang bisa ditarik benang merah secara simultan.

Ditelisik dari segi persyaratan pendataan ABG dan pencatatan ABG tidak sama persis. Akan tetapi pada hakikatnya dapat bersinergi dari aspek integrasi data. Selama ini Ditjenim telah bersinergi dengan Disdukcapil, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, tapi belum pada tataran integrasi data.

Untuk itulah perlu didorong agar integrasi data dapat dimulai dan diwujudkan dalam waktu yang tidak terlalu lama tentunya.

Sedangkan bagi Ditjen AHU, pendataan ABG memiliki konsekuensi yang jauh lebih luas antara lain untuk memperoleh Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI (Kepmenkumham) terkait Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Surat Kepmenkumham tersebut sangat berarti bagi ABG dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai WNI. Namun demikian pada pelaksanaan di lapangan terdapat cukup banyak juga ABG yang tidak melakukan pendataan.

Hal ini mengacu ketentuan UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan. Ketika ABG berusia 21 tahun, anak tersebut atau walinya terlambat untuk menyatakan memilih kewarganegaraan Indonesia, yang pastinya akan menjadi permasalahan yang dihadapi saat ini.

Akhirnya, menelisik urgensi pendataan ABG pada tiga instansi terkait (Ditjen Imigrasi, Ditjen AHU, dan Disdukcapil) maka sudah saatnya ketiga instansi tersebut dapat berkolaborasi terkait integrasi data ABG.

*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si, adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.

Scroll to Up